Jika . . .

Sunday, November 06, 2016


Hai?

Mungkin ini sapaan pertama kita setelah sekian lama kita tak pernah bertegur sapa. Sangat dingin meskipun dilapis dengan senyum hangat. Kita begitu diam kali ini, entah mengapa. Kita berjalan beriringan menuju meja yang telah kita pesan. Aku menarik kursi untukmu, namun kau mencegah untuk kesekian kalinya. Bukankah itu sama seperti dulu. Kau pegang tanganku sambil tersenyum manis dan menggelengkan kepalamu. Senyummu berusaha aku balas. Kita duduk, kita berhadapan, dan kita juga bertatapan. Kepulan uap hangat dari cappuccino menyapu wajahku, atau bahkan masing masing dari kita? Entahlah.  Bahkan sendari tadi tak ada satupun sajian di meja yang kita ambil. Kenapa kita saling diam? Bukankah seharusnya ada yang lebih baik kita lakukan? Atau mungkin kita sama sama gugup . . . sepertinya . . .

Apa kau baik baik di sana?

Tanyaku kembali. Sangat bodoh! Kenapa harus melontarkan kata kata klasik yang bahkan aku sendiri tau dia akan mnjawab apa.

Yah, aku baik bahkan sangat baik. Bagaimana denganmu?

Aku tersenyum kepadanya? Mungkin kali ini kami sama sama bodoh, menanyakan apa yang memang sudah terlihat di depan mata. Ya, kami terlihat sama sama baik kali ini. Kulihat dia sekali lagi, begitu cantik. Rambut pendek sebahunya, rambut yang selalu aku bayangkan seperti apa jika menjadi panjang. Bukankah dia akan menjadi lebih cantik? Ah dia memang cantik, seperti biasanya. Mata kami tiba tiba tak sengaja kembali bertemu. Aku menunduk, begitu pula dia. Aku menarik nafas panjang . . .

Maaf, apakah kamu bahagia disana?

Dia menatapku, begitu dalam. Jika aku bisa menggambarkannya dan itu benar, maka tatapan itu berupa kesedihan. Entah apa yang ada di pikirannya. Atau pertanyaanku barusan yang salah? Dasar bodoh!

Yah, aku mencoba baik baik saja di sana. Berusaha kuat untuk bahagia. Engkau tahu bukan?

Dia kembali menunduk. Aku merendahkan kepalaku. Mencoba melihat raut wajahnya dari bawah. Sepertinya dia tahu kalau aku khawatir, dia menatapku kembali dan tersenyum. Mengangkat kembali kepalanya dan menghembuskan nafas panjang . 
.
“ Yah, kurang lebih sudah 2 tahun bukan? Dan dulu aku pernah mengungkapkan, memintamu untuk di sinilah sebentar, di sisiku. Namun jelas itu permintaan yang mustahil meskipun saat itu aku membutuhkanmu lebih daripada yang kau pikirkan. Aku memang bodoh  ”

Aku memegang tangannya, aku berusaha tersenyum ketika mulai terlihat butir air mata di pelupuknya. Segera aku usap dan singkirkan, jujur aku benar benar benar sulit untuk berkata, namun aku harus mencoba . . .

“ Apa kau tahu? Saat itu aku sama sakitnya dengan dirimu. Aku mencoba tinggal namun jelas tidak bisa, meskipun ingin namun sulit. Mungkin masing masing diantara kita pernah berbuat salah, dulu . . . Aku tak pernah bisa menggenggam tanganmu walau sekuat apapun aku mencoba, mungkin dulu apa yang aku berikan kepadamu begitu kecil jika dibandingkan dengan pemberian seseorang bukan? Namun yakinlah, itulah semua yang aku punya. Aku sudah berusaha sebaik mungkin . . . “

Aku berdiri dari temaptku dan berusaha mendekatinya. Agak gugup memang, namun aku memeluknya. Dia bergetar, membenamkan wajahnya kepadaku. Terdengar pelan bahwa ia terisak. Aku ingin ia tenang ketika aku ada disampingya, dan aku ingin dia nyaman ketika aku memeluknya . . .

“ Tenang, jika Tuhan mengijinkan maka kita masih ada jalan. Meskipun sulit mencintai kembali. Mari kita mencobanya dan biarkan Tuhan mengaturnya “


You Might Also Like

0 comments

Followers

Total Pageviews

Translate